SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
Oleh Masnur Muslich
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai
dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan
bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara.
Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu,
atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang
bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai
Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini
dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka,
menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas
perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran
negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk
keselamatn raja.
- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti
Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya
hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan
Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak
kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh,
taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman
Sriwijaya, bisa disimpulka bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah
berperan sedbagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa
resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing
tentang bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu
(diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan
politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa
catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu.
Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu
tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina
yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua
franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di
antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya
sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah
Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada
traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera
pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar:
pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan
Sunda kecil: pulau-pulau Bali, LOmbok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor,
dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial
Belanda.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat
dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelumm Traktat London,
dan (2) periode setelah Traktat London.
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini
dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti
berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan
abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai
dengan abad ke-19 Masehi):
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12
sampai dengan abad ke-13 Masehi)
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai
dengan abad ke-19 Masehi):
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan
abad ke-15 Masehi)
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan
abad ke-17 Masehi)
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai
dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana
disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu
pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah,
yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi BahasaMalaysia;
(c) si Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad
ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa
kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka,
suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar
dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan
transaksi dagang. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat
kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah
taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan
keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F.
Zaide, se
orang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai
kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:
The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the
ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to
1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might,
Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named
after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra. At the height of its power under the
Shailendra dynasty, it included Malaya, Ceylon, Borneo, Celebes, the
Philippines, and part of Formosa, and probaly exercised sovereignty over
Cambodia and Champa (Annam). (Zaide, 1950: 36)
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu
perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan
yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan
tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan
pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca
Kw’en Lun.
Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan
abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa
Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada
berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di
Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang
muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai
tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada
saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu
sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau.
Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode,
yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan
Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat
penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia.
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran
bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang
Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak
hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan
statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik
bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam
pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari
pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi.
Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang
berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan
Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda
mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda.
Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak
dapat diabaikan begitu saja.
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang
pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulisa di dalam bukunya Itinerarium
Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu adalah
bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang
tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari
zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam
Fishman, 1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di
Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang
bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa bahasa Melayu telah
terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang
penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda
dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario
kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja
digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di
negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap
orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau
senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa
ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat
dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12
sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau
Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik,
letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh
Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke
Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih
termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa
ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu
terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali
tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran
bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu
yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada
era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa
bahasa Medlayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa Melayu kuno seperti
yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus
(1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan
bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang
merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan
Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang
mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau.
Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu kuno dan bahasa
Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan
abad ke-19 Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan
jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari
sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era
Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat
kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya
itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada
sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi
oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh
sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga
periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
- Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan
abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan
Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya
dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang
dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa
Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung
Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun.
Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas
pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia
Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan,
dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang
paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama
Islam. Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and Pasai in North Sumatra were the first
Malay Centers for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At
Pasai, in 1407 was buried Abdul’llah ibn Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn
Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir, a missionary from
Delhi of the house of the Abbasides who furnished Caliphs from the time of
Prophet till it was destroyed by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a
center greater than itself.”
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan,
yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama
Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para
guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti
perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan
menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut.
Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama
Islam pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat
penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran
bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa
Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke
pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri,
seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah
menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini
hanya mungkin apabila bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada
masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394).
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa
dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau
pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang
sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk
Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu
merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
- Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan
abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun
1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah
selatan Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka
dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam.
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah
menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa
Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan,
tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut
sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka
dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas
bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam
penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan
Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh
ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran
ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
- Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai
dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan
Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan,
salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan
permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu,
yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu
memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal
bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun
1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika
kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan
kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali
bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika
Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya
yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu
Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul
Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah
ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang
diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan
Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah
dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang
berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis
beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia
Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di
Kepulauan Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa
dan Pulau Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang
ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra,
yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada
tahun 1819.
Orang-orang Blanda datanga pertama kali ke Indonesia
bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di
Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu
direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah
Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche OOst-Indie (India
Belanda).
Di sinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung
Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh
ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan.
Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada
raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada saat itu masih
beroperasi di anak benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia
Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaab
kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu,
konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi
antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara
menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan
itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Pada 2 Februari 1819, kuran lebih tiga abad setelah
orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia
menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial
Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang
bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan,
Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena
berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun
1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara
Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London
Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan
Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan
Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan
Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai
daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya
menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula,
perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk
Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar
dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan
sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan London
atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam
kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang
ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857,
misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah
buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama
berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau
dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja
Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain,
juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat
dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan,
pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli
bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh
dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi.
Perkembangan Bahasa Melayu Sebelum Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara
pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan
Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan
Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu
Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik
yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu
yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa
yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang
suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan
bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
1. Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh
pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi
bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an bahasa Melayu semakin nyata
dan penting.
2. Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan
bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der
Maleische Taal yang berisi sistem ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf
Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf
Arab (baiasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem
ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai
dengan bahasa Melayu.
3. Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di
dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status
bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah
lainnya.
4. Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai
Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa
Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua
sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang
kemerdekaan Indonesia.
5. Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu
dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan
yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
6. Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga
Baroe sekelompok pegarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
7. Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia)
di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa
Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.
8. Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh
balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada
semua jenjang pendidikan.
9. Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan
Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal
… ayat … UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan
resmi negara.” Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
10. Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan.
Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
11. Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara
Malaysia tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di
dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
12. Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan
pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan
di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma
supra-nasional.
13. Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula
pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini
semakin memperkuat MABIM sehingga Nagara Brunai Darussalam dan Republik
Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya
diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI
tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa
resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik
Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar bahasa Melayu menjadi
bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan
menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung
Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau
di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya
politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui
adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil,
dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar
pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan
dipergunakan sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas
berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada
tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia,
yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan
berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa
Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi,
bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa
Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu
di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang
dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan,
secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia
Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa
bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa
komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti
secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Daftar Pustaka
Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying
Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra:
Research School of Pasific Studies, ANU.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy,
Language Engineering and Literacy in Indonesia and Malaysia”. Dalam Fiherman,
ed. 1974: 179-187.
Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language
Planning. The Hague: Mouton.
Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan
Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia. Pekanbaru: Badan
Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah
Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia. Djakarta: Bhratara.
Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BOPA
III”. 28 Agustus 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar